MUHAMAD NAHROWI
1.
Oriented Strand Board
Oriented Strand Board (OSB) merupakan perkembangan dari waferboard
yaitu suatu produk panel yang pertama kali dibuat di Amerika Utara pada tahun 1954. Waferboard mempunyai banyak keunggulan diantaranya dapat menggunakan
bahan baku dari jenis kayu yang kurang dikenal, sifat kekuatannya tinggi dan dapat
digunakan dalam beberapa aplikasi (Walter, 1993). Saat ini waferboard telah digantikan oleh OSB yang digolongkan sebagai panel
struktural bersama kayu lapis (Haygreen
dan Bowyer. 2003).
OSB |
OSB merupakan salah satu jenis papan pertikel yang dibuat dari partikel
yang berbentuk Strand. OSB dapat digolongkan berdasarkan jumlah lapisannya
yaitu papan satu lapis, tiga lapis, lima
lapis atau lebih. OSB tiga lapis dengan arah serat lapisan luar tegak lurus
dengan lapisan tengah memiliki sifat sama dengan kayu lapis dengan ketebalan
yang sama. OSB dapat digunakan sebagai bahan pembuatan atap, dinding dan lantai
pada perumahan serta furniture
(Sutrisno, 2001).
Ukuran dimensi strand menurut
Marra (1992) yaitu panjang 0,5 – 3 inci (1,27 – 7,62 cm), lebar 0,25 – 1 inci
(0,64 – 2,54) dan tebal 0,010 – 0,025 inci (0,02 – 0,06 cm). Penaburan partikel
yang sudah dicampur dengan perekat dapat dilakukan secara acak (arah serat
partikel tidak diatur) atau arah serat diatur, misalnya sejajar atau
bersilangan tegak lurus (Sigiro 2010). Partikel yang digunakan yakni partikel
yang relatif panjang, biasanya berbentuk untai (strand) sehingga disebut papan
untai terarah. Strands pada OSB memiliki dimensi panjang paling sedikit tiga
atau empat kali lebih besar dibandingkan lebarnya. Perbandingan ini mendukung
penyusunan strands dalam rangka usaha
pembentukan lembaran (Koch, 1985).
Aplikasi OSB dimasa depan akan menjadi lebih luas karena dapat memiliki
bentang yang lebar, tebal dan kestabilan dimensi yang tinggi. OSB dapat
digunakan untuk konstruksi perumahan dan bangunan komersial. OSB memiliki keunggulan dalam kekuatan
dan keawetan sehingga merupakan pilihan ekonomis untuk penggunaan jangka
panjang pada berbagai bidang konstruksi kecuali untuk pemakaian yang menahan
beban cukup besar (Nishimura dkk, 2004)
OSB telah dikembangkan secara luas untuk bahan konstruksi perumahan dan
bangunan komersial utamanya adalah untuk keperluan dinding, atap, dan lantai
pada bangunan rumah tinggal (Lowood, 1997). OSB dapat digunakan untuk komponen
lantai yang paling dasar hingga bagian atas rumah seperti dinding panel atap,
sub-lantai, lantai berlapis tunggal, pelapis, panel insulasi struktural, papan
sisi dan lantai joint (Youngquist, 1999).
2.
Eceng Gondok (Eichormia crassipes)
Eceng gondok merupakan tanaman gulma di wilayah perairan yang hidup
terapung pada air yang dalam atau mengembangkan perakaran di dalam lumpur pada
air yang dangkal (Pasaribu dan Sahwalita, 2008). Eceng gondok berkembangbiak
dengan sangat cepat, baik secara vegetatif maupun generatif. Perkembangbiakan
dengan cara vegetatif dapat melipat ganda dalam waktu 7-10 hari. Eceng gondok
merupakan tanaman asli Brazil yang didatangkan ke Indonesia tahun 1894 untuk
melengkapi koleksi tanaman di Kebun Raya Bogor. Tanaman ini telah menyebar ke
seluruh perairan yang ada baik waduk, rawa, maupun sungai di perairan Jawa,
Sumatera, Kalimantan dan di daerah lainnya
(Suprapti, 2000).
Hasil penelitian Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan Sumatera Utara di Danau Toba (2003) melaporkan
bahwa satu batang eceng gondok dalam waktu 52 hari mampu berkembang seluas 1 ha,
atau dalam waktu 1 tahun mampu menutup area seluas 7 ha. Heyne (1987)
menyatakan bahwa dalam waktu 6 bulan pertumbuhan eceng gondok pada areal 1 ha
dapat mencapai bobot basah sebesar 125 ton.
Menurut Sastroutomo (1977), eceng gondok tiap tahunya berbunga dan
setelah 20 hari terjadi penyerbukan, buah masak, lepas dan pecah kemudian biji
masuk ke dalam air. Eceng gondok merupakan gulma lingkungan perairan dan
merupakan jenis tumbuhan agresif. Tanaman ini bukan tanaman asli daerah
indonesia yang mampu menguasai vegetasi alami dan menghambat jenis-jenis asli bahkan
memusnahkan.
Penyebaran tanaman ini dengan cepat telah menimbulkan kerugian ekonomi,
sosial dan lingkungan yaitu menutupi jalannya air, mempengaruhi transportasi
air untuk pertanian dan pariwisata, menutupi danau dan sungai, menurunkan oksigen yang terlarut
(dissolved oxygen) pada badan air dan menurunkan produksi perairan (Ding et al., 2000). Keberadaan eceng gondok
sebagai gulma yang sulit diberantas menimbulkan berbagai masalah bukan hanya di
Indonesia, tetapi juga di beberapa negara lain di belahan dunia yang sejak lama
mendapatkan permasalahan baik sosial, ekonomi maupun lingkungan oleh keberadaan
eceng gondok (Kurniawan, 2002).
Menurut Zerrudo dkk (1979), tangkai daun (petioules) eceng gondok
mengandung 34,6% fiber berdasarkan berat kering oven, dengan panjang fiber
rata-rata 1,53 mm dan berdinding tipis, mengandung sedikit lignin, holoseluosa,
pentosa yang tinggi tetapi mengandung
sedikit silika, ekstraktif cukup larut dalam alkohol – benzena tetapi larut
banyak dalam NaOH 1%.
Menurut Gopal dan Sharma (1981), eceng gondok mengandung 11,3% lignin,
13,3% pentosan, 26,9% - 50% selulosa dan hanya 0,018% pati. Kadar selulosa dilaporkan ditemukan
dalam jumlah yang besar yaitu 26,1%; 32%; 42% dan 40-50%. Selulosa yang
dihasilkan sebaik kapas dengan karakteristik serat sebagai berikut : panjang
1,53 mm, lebar 0,023 mm, tebal dinding sel 3,5 µm dengan kadar abu yang tinggi.
Banyak peneliti melaporkan bahwa eceng gondok dapat menyerap zat
pencemar dalam air dan dapat dimanfaatkan untuk mengurangi beban pencemaran
lingkungan. tercatat bahwa dalam waktu 24 jam eceng gondok mampu menyerap logam
Cd, Hg dan Ni sebesar 1,35 mg/g; 1,77 mg/g dan 1,16 mg/g bila logam itu berada
dalam keadaan tidak tercampur dan menyerap Cd 1,23 mg/g, 1,88 mg/g dan Ni 0,35
mg/g berat kering apabila logam-logam itu berada dalam keadaan tercampur dengan
logam lain dalam air (Aningsih, 1991).
Salah
satu upaya yang cukup prospektif untuk menanggulangi gulma eceng gondok di
kawasan perairan danau adalah dengan memanfaatkan tanaman eceng gondok untuk
kerajinan kertas seni. Eceng gondok dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku
kertas karena mengandung serat/selulosa (Joedodibroto, 1983). Pulp eceng gondok yang dihasilkan berwarna
coklat namun dapat diputihkan dengan proses pemutihan (bleaching). Pulp juga dapat menyerap zat pewarna yang
diberikan dengan cukup baik, sehingga berbagai variasi warna kertas dapat
dihasilkan melalui proses ini.
Kandungan selulosa Cross
and Bevan eceng gondok sebesar 64,51% dari berat total (Joedodibroto, 1983)
memungkinkan eceng gondok dapat dipakai sebagai bahan baku pembuatan papan
partikel. Pemanfaatan eceng gondok sebagai bahan baku pembuatan papan partikel
merupakan salah satu alternatif manfaat yang memberikan nilai tambah eceng
gondok bagi masyarakat. Dengan bertambahnya cara pemanfaatan eceng gondok maka
populasinya diharapkan dapat dikontrol, sehingga permasalahan yang timbul
sebagaimana yang dipaparkan sebelumnya dapat diatasi (Saputra dan Prasetyo,
2005)
Keberadaan eceng gondok sebagai bahan
berlignoselulosa sama halnya dengan kayu memungkinkan untuk dijadikan bahan
baku industri hasil hutan seperti untuk pulp, kertas dan juga untuk bahan baku
pembuatan papan komposit. Berdasarkan hasil analisis sifat
fisis papan komposit yang dihasilkan, dapat disimpulkan bahwa secara umum masih
memungkinkan untuk menggunakan, flake eceng gondok sampai
taraf 30%, kecuali untuk sifat pengembangan tebal penggunaan flake eceng gondok pada layered composite
board optimum sampai taraf 20%, sedangkan penggunaan tipe lapisan
permukaan tergantung tujuan yang ingin dicapai. Berdasarkan hasil analisis
sifat mekanis papan komposit yang dihasilkan, didapat nilai optimum penggunaan flake
eceng gondok untuk sifat MOE dan MOR adalah 10% bagi non layered composite board
dan 30% bagi layered composite board. Sedangkan untuk sifat pegang sekrup dan
internal bond penggunaan flake eceng gondok sampai
30% secara teknis masih diperbolehkan. Peruntukan papan komposit sebagai bahan
konstruksi, penggunaan flake eceng gondok tidak boleh melebihi 10% untuk not layered composite board, sedangkan untuk layered composite board,
penggunaan flake eceng gondok sampai taraf 30% secara teknis masih
diperbolehkan. Peruntukan papan komposit sebagai bahan non konstruksi seperti
untuk furniture, siding dan plafon, penggunaan flake eceng gondok sampai
taraf 30% masih memungkinkan secara teknis untuk semua tipe lapisan permukaan,
kecuali untuk penggunaan yang kurang toleran terhadap pengembangan tebal yang
besar, penggunanan flake eceng gondok untuk composite board tidak boleh melebihi taraf 20%.
Untuk mendapatkan informasi yang cukup mengenai aspek teknis pembuatan papan
komposit modifikasi berbahan baku campuran, perlu dilakukan
penelitian lanjutan mengenai pengaruh ketebalan anyaman sayatan bambu tali,
penggunaan perekat jenis lain, dan atau penggunaan anyaman sayatan kulit bambu
terhadap sifat fisis-mekanis papan komposit (Kurniawan dan Ahmad, 2009)
3. Bambu ater (Gigantochloa atter (Hassk.) Kurz ex Munro)
Bambu adalah tumbuhan yang batangnya berbentuk buluh, beruas, berongga,
mempunyai cabang, berimpang dan mempunyai daun buluh yang menonjol. Berbeda
dengan rotan, buluh bambu sulit dibengkokkan (Heyne, 1987). Bambu pada umumnya
hidup mengelompok membentuk suatu rumpun yang rapat, batang terdiri atas
ruas-ruas berongga yang menyerupai tabung dengan diameter 2-30 cm dan
panjangnya mencapai 3-15 m. Batang ini umumnya berongga dan terbagi atas internode yang dibatasi oleh buku (node)
dan rongga antar buku yang dipisahkan oleh diafragma. Panjang, garis tengah dan
ketebalan dinding dari bambu tergantung pada umur bambu (Sastrapradja dkk,
1980).
Bambu ini juga mempunyai beberapa nama daerah antara lain dikenal
dengan nama awi temen, pring jawa, pring legi dan pereng keles. Batang bambu
ater berwarna hijau hingga hijau gelap dengan garis tengah 5-10 cm dan tebal
dinding batang 88 mm. Panjang ruasnya antara 40 cm sampai 50 cm dan tinggi
tanaman mencapai 22 m. Pelepah batangnya mudah gugur. Ruas-ruas bambu ini
tampak rata dengan garis putih melingkar pada bekas pelekatan pelepah (PT.
Bambu Nusantara, 2003)
Menurut Wikipedia.org (2010) bambu
adalah tanaman
jenis rumput-rumputan yang mempunyai batang berongga dan beruas-ruas, banyak
sekali jenisnya dan banyak juga memberikan manfaat pada manusia. Nama lain dari
bambu adalah buluh, aur, dan eru. Seperti halnya tebu, bambu mempunyai ruas dan buku. Pada setiap ruas tumbuh
cabang-cabang yang berukuran jauh lebih kecil dibandingkan dengan buluhnya
sendiri. Pada ruas-ruas ini pula tumbuh akar-akar sehingga pada bambu dimungkinkan untuk memperbanyak
tanaman dari potongan-potongan setiap ruasnya, disamping tunas-tunas rimpang.
Menurut Morisco (2005), perkembangan jumlah penduduk mengakibatkan
naiknya kebutuhan perumahan, yang juga berarti meningkatnya kebutuhan kayu. Kebutuhan kayu yang
berlebihan akan dapat mengakibatkan penebangan kayu hutan dalam jumlah banyak
dan membahayakan kelestarian hutan. Dengan memperhatikan kekuatan bambu yang
tinggi dan bambu dengan kualitas yang
baik dapat diperoleh pada umur 3-5 tahun, suatu kurun waktu yang nilainya
sangat singkat, serta mengingat bahwa bambu mudah ditanam dan tidak memerlukan
perawatan yang khusus, bahkan sering dijumpai rumpun bambu yang sudah
dibakarpun masih dapat tumbuh lagi, sehingga bambu mempunyai peluang yang besar
untuk menggantikan kayu yang baru siap tebang setelah berumur 50 tahun.
Menurut Janssen
(1980), bambu memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan jika digunakan sebagai
bahan bangunan. Kelebihan bambu antara lain :
a.
Pertumbuhannya sangat cepat, dapat
diolah dan ditanam dengan cepat sehingga dapat memberikan keuntungan secara berkelanjutan
b.
Memiliki sifat mekanis yang baik
c.
Hanya memerlukan alat yang
sederhana
d.
Kulit luar yang mengandung silika
yang dapat melindungi bambu
Adapun beberapa
kelemahan dari bambu antara lain :
a.
Keawetan bambu relatif rendah
sehingga memerlukan upaya pengawetan
b.
Bentuk bambu yang tidak benar-benar silinder akan
tetapi taper
c.
Sangat rentan terhadap resiko api
d.
Bentuknya silinder sehingga
menyulitkan dalam penyambungan.
Dalam
penggunaannya di masyarakat, bambu kadang-kadang
menemui beberapa keterbatasan. Sebagai bahan bangunan, faktor yang sangat
mempengaruhi bahan bambu adalah
sifat fisik bambu yang
membuatnya sukar dikerjakan secara mekanis, variasi dimensi dan
ketidakseragaman panjang ruasnya serta ketidakawetan bahan bambu tersebut menjadikan bambu tidak dipilih sebagai bahan
komponen rumah. Sering ditemui barang-barang yang berasal dari bambu yang dikuliti khususnya dalam
keadaan basah mudah diserang oleh jamur biru dan bulukan sedangkan bambu bulat utuh dalam keadaan kering
dapat diserang oleh serangga bubuk kering dan rayap kayu kering (Krisdanto dkk,
2005).
Menurut hasil penelitian sifat kimia terhadap 10 jenis bambu yang
dilakukan oleh Gusmailina dan Sumadiwangsa (1988) dalam Krisdanto dkk (2005) menunjukkan bahwa kadar
selulosa berkisar antara 42,4% - 53,6%, kadar lignin bambu berkisar antara 19,8% - 26,6%, sedangkan kadar pentosan
1,24% - 3,77%, kadar abu 1,24% - 3,77%, kadar silika 0,10% - 1,78%, kadar ekstraktif
(kelarutan dalam air dingin) 4,5% - 9,9%, kadar ekstraktif (kelarutan dalam air
panas) 5,3% - 11,8%, kadar ekstraktif (kelarutan dalam alkohol benzene) 0,9% -
6,9%.
Bambu sebagai bahan baku dapat berbentuk buluh utuh, buluh belahan,
bilah dan partikel. Bahan ini digunakan untuk komponen kolom, kuda-kuda, kaso,
reng, rangka, jendela/pintu dan balok lamina. Semua komponen bangunan yang
biasanya dari kayu dapat dibuat dai bambu. Jenis-jenis bambu yang biasa
digunakan untuk bahan bangunan adalah bambu betung (Dendrocalamus asper), bambu andong/gombong (Gigantochloa pseudoarundunaceae), bambu ater (Gigantochloa atter), bambu hitam (Gigantochloa antrovioleceae) dan bambu ali (Gigantochloa apus) (Surjokusumo, 1997).
Menurut situs www.bahtera.org (2009), bambu
ater biasanya digunakan orang untuk dinding rumah, pagar alat-alat rumah tangga
dan kerajinan tangan pembuat alat musik bambu atau angklung juga sangat
menyukai jenis bambu ini sebagai bahan bakunya. Rebung bambu ater juga terkenal
enak dan biasa dikonsumsi sebagai sayuran.
Kemajuan teknologi saat ini memungkinkan untuk
dapat mengolah bahan bambu menjadi balok mirip kayu dengan kekuatan yang
tinggi. Pengembangan pembuatan balok bambu dilakukan dengan bantuan pelatihan
produksi, sehingga dapat dibuat unit produksi dan dapat dilakukan dengan skala
UKM. Hasil penelitian Balai Bahan Bangunan Puslitbang Permukiman pada tahun
anggaran 2007 menunjukkan bahwa, dengan menggunakan perekat resin (cara press
panas atau dingin) atau semen, dapat dihasilkan suatu suatu bahan bangunan
komposit yang mempunyai kekuatan tinggi sehingga dapat menandingi kekuatan
kayu. Produk dari hasil penelitian ini dapat berupa panel eksterior dan
interior dengan berbagai bentuk untuk konstruksi bangunan seperti, dinding,
langit-langit serta penutup atap, atau yang digunakan sebagai bahan
furniture dengan memenuhi persyaratan yang diperlukan.
Manfaat
1.
Menyediakan bahan bangunan
alternatif dan memberdayakan masyarakat melalui pengembangan UKM
2.
Menciptakan lapangan pekerjaan
baru bagi masyarakat dan mendukung program pembangunan perumahan yang
berkelanjutan di Indonesia
Keunggulan
1.
Dimensi dapat disesuaikan dengan
kebutuhan
2.
Dimungkinkan dibuat tanpa adanya
sambungan
3.
Sifat Mekanika tinggi
4.
Pengerjaan setara dengan bahan
kayu
Subiyanto et al. (1994), menyatakan bahwa papan
bambu lapis semi serat dibuat dengan cara memipihkan bambu dengan mesin pemipih
sampai bentuk bambu berupa semi serat yang panjang. Kemudian arah serat disusun
saling menyilang. Parallam bambu yang dibuat sama dengan papan bambu lapis semi
serat, tapi arah seratnya susunannya sejajar.
Kayu lapis adalah suatu produk yang diperoleh
dengan cara menyusun bersilangan tegak lurus lembaran vinir yang diikat dengan
perekat minimal tiga lapis (SNI, 2000). Pemasangan vinir dengan arah saling
tegak lurus dimaksudkan untuk mendapatkan kekuatan mekanis yang lebih tinggi.
Penyusutan lebih kecil sehingga menjadikan produk tersebut memiliki stabilitas
dimensi yang tinggi (http://puskim.pu.go.id,
2009)
Menurut Saad (2008) kadar air OSB dari bambu betung cenderung meningkat
dengan menurunnya kadar perekat yang digunakan. Hal ini dapat dimengerti karena
sedikitnya jumlah perekat menyebabkan perekat tidak terdistribusi dengan baik
dan partikel tidak tertutupi dengan sempurna sehingga terdapat daerah yang
tidak terjadi kontak antar partikel yang masih dapat menyerap air/uap air di
sekelilingnya. Variasi kadar air OSB yang dihasilkan diduga disebabkan karena
kadar air strand yang digunakan tidak sama mengingat pengeringan strands dalam
jumlah banyak mengakibatkan panas tidak terdistribusi secara merata ke bagian
dalam tumpukan strands.
Kerapatan OSB cenderung meningkat dengan menurunnya kadar perekat yang berarti
bahwa kerapatan semakin tinggi dengan penggunaan perekat yang lebih sedikit.
Kerapatan papan merupakan faktor penting yang sangat mempengaruhi sifat-sifat
papan yang dihasilkan.
Menurut Saad (2008) nilai
pengembangan tebal OSB dari bambu betung setelah perendaman 2 jam berkisar
antara 0,30-3,29% sementara setelah perendaman selama 24 jam, nilai
pengembangan tebal OSB berkisar antara 3,34-10,35 sementara nilai pengembangan
yang dipersyaratkan oleh JIS A 5908-2003 adalah maksimum 25% dengan demikian
OSB yang dihasilkan memenuhi standar. Pengembangan linier OSB bambu betung
terendah dihasilkan papan dengan ratio face-core 60:40 yang kadar perekatnya 5%
setelah perendaman 2 jam sedangkan papan OSB yang sama dengan ratio face-core
70-30 yang kadar perekatnya 5% memiliki nilai tertinggi. Nilai keteguhan
tarik tegak lurus permukaan OSB rata-rata berkisar antara 5,03-15,05 kgf/cm2
sementara dalam JIS A 5908-2003 nilai keteguhan rekat yang dipersyaratkan
minimum 3,10 kgf/cm2 sehingga OSB dari bambu betung tersebut
memenuhi standar.
4. Perekat Isosianat
Perekat
Isosianat adalah salah satu jenis perekat yang berasal dari bahan dasar polimer
isosianat dengan pelarut air yang biasanya digunakan untuk perekatan kayu lamina dari bahan kayu
daun lebar dengan menggunakan kempa dingin. Perekat isosianat (PI) 120
bersama dengan bahan pengeras H-3 dapat digunakan sebagai perekat produk
material struktural dengan sifat ketahanan yang sangat baik terhadap air.
Masa efektif setelah dilabur atau Pot life perekat isosianat cukup
panjang yaitu sekitar 120 menit pada suhu 20 oC. Sifat perekat
ini sangat baik dan mudah dalam pemanfaatannya. Perekat ini berupa cairan
berwarna putih kental dengan kandungan total padatan 40 – 44 %, viskositas 40 –
80 poise (4 – 8 Pa.s) dan pH 6,0 – 8,0. Adapun bahan pengerasnya berupa
cairan berwarna coklat gelap dengan kandungan total padatan minimum 98% dan viskositas
1,5 – 2,0 poise (0,15 – 0,2 Pa.s) (Yulianto dan Hermiati, 2008)
Isosianat
memiliki kekuatan rekat yang lebih tinggi daripada perekat lainnya. Isosianat
bereaksi dengan kayu yang menghasilkan ikatan kimia yang kuat sekali (chemical
bonding). Isosianat juga memiliki gugus kimia yang sangat reaktif, yaitu
R-N=C=O. Keunikan perekat isosianat adalah dapat digunakan pada variasi suhu
yang luas, tahan air, panas, cepat kering, PH netral dan kedap terhadap solvent
(pelarut organik). Perekat ini juga memiliki daya guna yang luas untuk
merekatkan berbagai macam kayu ke kayu (Juliusthh07.blogspot.com/2009).
Kayu
memiliki gugus fungsi kimia yang dikenal dengan gugus hidroksil. Methylene di-Isocyanate (MDI) dalam gugus isosianat (-N=C=O) bereaksi
dengan gugus hidroksil pada kayu membentuk rantai urethane. Menurut Marra
(1992) untuk perekat isosianat dijelaskan bahwa perekat ini memiliki
reaktifitas tinggi berasal dari radikal isosianat (- N = C = O) seperti yang ditunjukkan
pada gambar berikut.
Direaksikan dengan alkohol :
H
O
Direaksikan dengan air :
Menurut Mc Elrath (1992) keunggulan menggunakan perekat isosianat dibandingkan
perekat berbahan dasar resin adalah :
a.
Dibutuhkan dalam jumlah yang
sedikit saja untuk memproduksi papan dengan kekuatan yang sama
b.
Dapat menggunakan suhu yang lebih
rendah
c.
Kemungkinan penggunaan kempa yang
lebih cepat
d.
Lebih toleran pada partikel yang
berkadar air tinggi
e.
Energi untuk pengeringan lebih
sedikit dibutuhkan
f.
Stabilitas dimensi papan yang
dihasilkan lebih stabil
g.
Tidak ada emisi formaldehyda
Perekat isosianat berpotensi memaksimalkan sifat fisik tampilan panel
OSB, mengefisienkan proses dan menguntungkan karena lebih cepat matang (curing) dan terikat kuat (bounding), kemudian berimplikasi ke
biaya produksinya (energi) lebih rendah. Selain itu penampilan fisik papan
bersih dan tidak ada emisi formaldehyda (Wikimedia Foundation, 2006).
Menurut Daud dkk, (2009) isosianat merupakan
perekat yang mempunyai banyak gugus reaktif sehingga mampu merekat pada
berbagai macam permukaan. Dalam perekatan kayu, gugus hidroksil pada selulosa,
hemiselulosa dan lignin dapat bereaksi dengan metal, etil, propel dan butyl
isosianat membentuk jembatan uretan yang lebih stabil dan menunjukkan ketahanan
terhadap perusak kayu.
5. Proses Pembuatan OSB
Proses pembuatan OSB pada dasarnya
hampir sama dengan tahapan pada produksi papan partikel, hanya saja ada
pengorentasian arah strand saat pembentukan lembaran dan pelapisan bahan
anti air pada sisi-sisi tebalnya. Lowood (1997) dan Youngquist (1999)
menerangkan secara garis besar proses pembuatan OSB adalah sebagai berikut:
1.
Pengupasan kulit kayu (debarker)
dan Pembuatan strands
2. Pengeringan
3. Blending
4. Pembentukan lembaran
5. Pengempaan panas
6. Finishing, pengepakan, dan pengangkutan
Menurut Forest Product Laboratory (1999) tahapan pembuatan OSB adalah
sebagai berikut :
1.
Bahan baku
Menurut Caesar (1997) dalam Misran (2005), OSB dapat dibuat dengan
menggunakan kayu memiliki kerapatan 350-700 kg/m3. Bahan baku yang
akan dipergunakan sebagai strand harus bersih dari kulit karena kulit kayu akan
menghambat proses perekatan.
2.
Pembuatan strand
Secara umum penggunaan
strand berukuran kecil sebagai bahan baku dapat memperbaiki keseragaman dan
stabilitas. Pada kasus OSB, ukuran strand yang akan berpengaruh pada sifat
keseragaman dan stabilitas (Nishimura et al, 2004). Ukuran strand dan
orientasinya harus dikontrol selama proses produksi. Pengelompokan strand
menurut Nishimura et al (2004) sebagai berikut :
a.
Strand tipe 1, bentuk panjang dan
sangat lebar
b.
Strand tipe 2, bentuk panjang
namun tidak selebar tipe 1
c.
Strand tipe 3, bentuk panjang dan
sempit
d.
Strand tipe 4, bentuk pendek dan
sempit
e.
Strand tipe 5, bentuknya
kecil-kecil
3.
Pengeringan
Ayrilmis et al (2005) merekomendasikan
pengeringan strand hingga mencapai kadar air 2-3%. Menurut Structural Board
Assiciation (2004), strand untuk OSB dikeringkan sampai kadar airnya 3% untuk
perekat PF atau seperti panil sebesar 8% dengan perekat cair.
Dalam kondisi normal strand dikeringkan hingga
mencapai kadar air 3-5% sebelum dicampur dengan PF cair. Penggunaan PF bubuk
memerlukan pengeringan hingga mencapai kadar air 6%. Kadar air 5-6% apabila
menggunakan perekat UF (Misran, 2005)
4.
Pencampuran strand, perekat dan
bahan aditif
Marra (1993) polydiphenylmethane diisocyanate,
pMDI atau MDI dipakai sebagai resin pada pembuatan OSB, namun harganya lebih
mahal lebih mahal dari PF. Seperti halnya PF, MDI merupakan perekat tipe
eksterior. Tidak seperti PF, MDI tidak membentuk ikatan mekanis pada kayu,
namun ikatan yang terjadi adalah ikatan kimia dimana ikatan kimia ini lebih
kuat dan lebih stabil dibandingkan ikatan mekanis sehingga membuat kinerja MDI
lebih baik dibandingkan PF. Walaupun penggunaan MDI dalam jumlah sedikit namun dapat
memberikan hasil yang lebih baik dari PF.
5.
Pembentulkan lembaran
Menurut Misran (2005),
pengorientasian arah strand dapat dilakukan dengan menggunakan mechanical
orienter dimana alat ini terdiri atas dua bagian yaitu disk type orienter
(mengarahkan strand ke arah panjang panil) dan star type orienter
(mengorientasikan strand tegak lurus arah panjang).
6.
Pengempaan panas
Tujuan pengempaan panas
adalah mendapatkan kerapatan dan ketebalan papan sesuai yang diinginkan serta
mematangkan perekat khususnya perekat thermosting. Menurut Forest Product
Laboratory (1999), pengempaan panas pada OSB dilakukan pada suhu 177-204 oC
selama 3-5 menit.
7. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Mutu OSB
Menurut Paribroto Sutigno dalam www.dephut.go.id
(2002), faktor-faktor yang mempengaruhi mutu papan partikel yaitu:
1.
Berat jenis kayu
Perbandingan
antara kerapatan atau berat jenis papan partikel dengan berat jenis kayu harus
lebih dari satu, yaitu sekitar 1,3 agar mutu papan partikelnya baik. Pada keadaan tersebut proses pengempaan
berjalan optimal sehingga kontak antar partikel baik.
2.
Zat ekstraktif kayu
Kayu
yang mengandung zat ekstraktif minyak akan menghasilkan papan partikel yang
kurang baik dibandingkan dengan papan partikel dari kayu yang tidak mengandung
zat ekstraktif minyak. Zat ekstraktif semacam itu akan mengganggu proses
perekatan.
3.
Jenis kayu
Jenis
kayu (misalnya Meranti kuning) yang kalau dibuat papan partikel emisi
formaldehidanya lebih tinggi dari jenis lain (misalnya meranti merah). Hal ini
dipengaruhi oleh zat ekstraktif yang mempengaruhi warna kayu tersebut
4.
Campuran jenis kayu
Keteguhan
lentur papan partikel dari campuran jenis kayu ada diantara keteguhan lentur
papan partikel dari jenis tunggalnya, karena itu papan partikel struktural
lebih baik dibuat dari satu jenis kayu daripada dari campuran jenis kayu.
5.
Ukuran partikel
Papan
partikel yang dibuat dari tatal akan lebih baik daripada yang dibuat dari
serbuk karena ukuran tatal lebih besar daripada serbuk. Karena itu, papan partikel struktural dibuat
dari partikel yang relatif panjang dan relatif lebar.
6.
Kulit kayu
Makin
banyak kulit kayu dalam partikel kayu sifat papan partikelnya makin kurang baik
karena kulit kayu akan mengganggu proses perekatan antar partikel. Banyaknya kulit kayu maksimum sekitar 10%.
7.
Perekat
Macam
partikel yang dipakai mempengaruhi sifat papan partikel. Penggunaan perekat eksterior akan
menghasilkan papan partikel eksterior sedangkan pemakaian perekat interior akan
menghasilkan papan partikel interior. Walaupun demikian, masih mungkin terjadi
penyimpangan, misalnya karena ada perbedaan dalam komposisi perekat dan
terdapat banyak sifat papan partikel.
Sebagai contoh, penggunaan perekat urea formaldehida yang kadar
formaldehidanya tinggi akan menghasilkan papan partikel yang keteguhan lentur
dan keteguhan rekat internalnya lebih baik tetapi emisi formaldehidanya lebih
jelek.
8.
Pengolahan
Proses
produksi papan partikel berlangsung secara otomatis. Walaupun demikian, masih
mungkin terjadi penyimpangan yang dapat mengurangi mutu papan partikel. Sebagai
contoh, kadar air hamparan (campuran partikel dengan perekat) yang optimum
adalah 10-14%, bila terlalu tinggi
keteguhan lentur dan keteguhan rekat internal papan partikel akan menurun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar